Kamis, 23 Agustus 2012

Bab 9

     I'm at a payphone trying to call home
     All of my change I spent on (3)you
     (1)Where have the times gone
     Baby it's all wrong, where (2)are the plans we made for two?

     Yeah, I, I know it's hard to remember
     The people we used to be
     It's even harder to picture
     That you're not here next to me
     You say it's too late to make it
     But is it too late to try hope?
     And in our time that you wasted
     All of our bridges burned down

     I've wasted my nights
    You turned out the lights
     Now I'm paralyzed
     Still stuck in that time when we called it love
     But even the sun sets in paradise

     Aku memandangi kertas berisi lirik payphone yang udah ku stabilo maupun ku coret liriknya dan mengganti dengan yang menurutku pas. Aku memang kadang melakukan hal hal tak penting sepeti ini bila ada waktu senggang. Tapi, kali ini aku merasa kata kata yang distabilo benar benar mewakili suasana hatiku.
     "Argh," aku meremas kertas itu dan melemparnya asal lalu merebahkan diriku di kasur. Otakku tak mau berhenti memikirkan masa lalu gara gara kejadian tadi pagi. Semua seakan diputar ulang.
      Aku juga masih ingat bahwa aku sempat mengingat pernah punya secercah harapan saat papa setahun yang lalu tiba tiba mengabarkan kami akan pindah ke Jakarta. Seperti menemukan oase di padang gurun karena aku merasa ada kemungkinan bisa bertemu dengannya lagi,  namun setelah kusadari, ternyata oase itu hanyalah fatamorgana, angan anganku hanya khayalan semu.
     "Hhh," gumaman tak jelas keluar dari mulutku. Pikiranku yang sudah penuh seakan dijejali oleh makin banyak hal. Entah kenapa masalah selalu datang dalam waktu yang bersamaan. Apa aku benar benar harus melupakannya? Ditengah kegalauanku, handphoneku berbunyi nyaring memain kan lagu payphone.
     "Halo?" aku segera mengangkat teleponku sebelum nada deringnya berhenti.
     "Halo, ini Kiko," jawab suara di seberang. Datar, tanpa ekpresi.
     "Iya, kenapa?"
     "Gue ternyata pernah tinggal di Bandung." Jawaban singkatnya mampu mebuat jantungku berpacu cepat. Semua harapan tiba tiba menghampiriku kembali, tetapi......
     "Gak usah bercanda, Ko. Gak lucu," kataku dengan dingin. Ya, jawaban itu yang keluar dari mulutku. Aku takut harapan yang kuciptakan lagi lagi semu.
     "GUE GAK BERCANDA, IKAN KECIL," katanya dengan memberi penekanan pada setiap kata.
     "Oh ya?" tanyaku dengan intonasi yang sama, namun keraguan mulai menyelinap dalam hatiku.
     "Iya. Gue tadi gak mau kasih tau lo kalo gue pernah tinggal disana karena gue pernah punya sesuatu yang buruk dan gak mau siapapun tau, tapi ternyata elo itu gadis kecil sahabat gue yang suka berenang itu kan. Awalnya gue ragu, tapi insting gue bilang itu elo," katanya panjang lebar mencoba meyakinkan ku. 
     "Gue.......," aku tak bisa melanjutkan perkataanku. Rasa ragu dan takut akan harapan yang akan menjatuhkanku berperang dengan suara hatiku yang mengatakan bahwa dia memang orangnya.
     "Gue rider, lo Cheryl, dan elo ikan kecil gue," katanya lagi. Sebuah pernyataan yang membuatku makin merasa yakin.
     "Besok kita omongin di sekolah aja ya," kataku mencoba meng-akhiri pembicaraan .
     "Oke. Besok gue bakal nyeritain lebih banyak lagi," jawabnya. Dan setelah kata bye, aku mematikan telepon. Selang beberapa menit, teleponku berbunyi lagi.
     "Halo, Cher, tadi Kiko nelepon kamu?" suara itu langsung menyambutku dengan pertanyaan yang tiba tiba.
     "Riz, kok kamu bisa--," 
     "Gak perlu tau. Besok aku ceritain, yang penting, jangan percaya ama apa yang dia omongin, oke?"
     "Kenapa?" tanyaku bingung.
     Ia menghela napas sesaat. "Karena aku gak mau ikan kecilku terluka."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar