Kamis, 23 Agustus 2012

Bab 8

     "Kiko!!" panggilku ketika dia sudah berada di depan gerbang sekolah. Ia langsung menoleh dan tersenyum . Senyum yang akhirnya kusadari bahwa senyum itu adalah senyum yang sudah lama aku nantikan. Senyum yang pernah ..... ah itu tak penting.
     "Hmm?" gumamnya begitu aku sudah berada di dekatmya.
     "Thanks buat yang tadi."
     "Nevermind. A Prince must help his princess, right?" katanya sambil mengedipkan sebelah mata. Gaya khasnya yang biasanya membuatku merasa muak . Terlalu berlebihan menurutku, namun kurasa tidak untuk kali ini.
     "Gombal," kataku sambil meninju lengan kanannya. Ia mengaduh kesakitan.
     "Oke , gue tau elo bercanda, tapi pukulan lu itu keras kalo lo mau tau," katanya masih memegangi lengan kanannya dengan muka yang menampakkan rasa kesakitan. Aku langsung panik.
     "Eh, seriusan? Beneran sakit?"
     "Enggak sih. Bercanda doang," katanya sambil menjulurkan lidah. Sial... aku tertipu.
     "Eh, iya," aku teringat hal yang ingin aku tanyakan padanya. "Nama lengkap lo Henrikus Christopher?"
     "Iya. Elu sebagai ketua kelas pasti selalu megang daftar absen kan?" katanya seolah menganggap ini sebuah lelucon.
     "Gue lagi serius nih. Terus dulu lu pernah tinggal di Bandung?" lanjutku lagi, masih mencecarnya dengan pertanyaan bak seorang wartawan yang sedang mengejar berita. Ia terdiam sejenak mencoba mengingat ingat.
     "Enggak," katanya sambil menggeleng setelah berpikir beberapa saat. Aku menjadi lemas. Berarti dia bukan orangnya. Semua penilaianku terhadapnya seolah berbalik 180 derajat. Aku merasa bodoh terlalu cepat membuat kesimpulan, terlalu cepat merasa senang dan akhirnya, seperti yang orang orang bilang, ketika kau berharap terlalu tinggi, saat kau jatuh, akan terasa sangat sakit. Itu hal yang kurasakan sekarang. "Emang kenapa?"
     "Gak papa. Gak penting," kataku lemah. Semua keceriaan seolah menguap dariku saat ini.
     "Hey, lu cepet banget berubah, tadi kayaknya ceria banget."
     "You don't understand my problem."
     "So, what's your problem?" katanya santai. Aku hanya diam. "Oke, gue ngerti mungkin masalah lu terlalu pribadi, tapi inget, jangan bersedih terlalu lama, oke?" katanya setelah terjadi keheningan singkat diantara kami. Aku mengangguk .
     "Oke."
     "Eh, gue udah dijemput. Balik duluan ya," katanya sambil berlari begitu melihat sebuah stream berwarna hitam melintas. Ia masih menyempatkan dirinya melambai ke arahku. Aku membalas lambaiannya. "Bye ikan kecil," lanjutnya lagi.
     "Bye rider," kataku pelan. Rider, sebutan yang kuberikan kepada teman masa kecilku. Meskipun aku tahu bahwa dia bukan orangnya, aku masih sempat mengucapkan panggilan itu entah kenapa. Mungkin itu hanya sebuah pelampiasan kerinduan, atau ucapan selamat tinggal pada sang kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar